Dari Ciput Menuju Jalan Moderasi Beragama
DAMAIKU.ID - Bagaimana menjelaskan fenomena seorang guru di SMPN 1 Sukodadi Lamongan, Jawa Timur, yang –beberapa hari lalu tersiar kabar– mencukur gundul atau pitak 14 siswinya. Tindakan itu dinilai guru tersebut sebagai hukuman karena para siswi tidak mengenakan dalaman jilbab atau biasa disebut ciput? Hal itu bisa dianalisis berdasar kerangka berpikir gunung es (iceberg analysis), yang faktor penyebabnya dipengaruhi minimal tiga dimensi.
Pertama, patterns of behavior (pola dan tren), menunjukkan faktor pendukung secara langsung terjadinya seorang guru yang tega mencukur pitak peserta didik itu. Pasalnya, pelaku merupakan guru bahasa Inggris (bukan guru agama Islam), yang jika telusuri, akan terpotret dengan siapa ia berinteraksi, dan itu turut memengaruhinya, terutama dari aspek keagamaan.
Apalagi, fenomena pemaksaan ciput itu sejalan dengan pemaksaan jilbab di sekolah-sekolah negeri, yang setiap tahun selalu ada kasus serupa. Setara Institute mencatat pada 2022, ada 12 kasus intoleransi di lembaga pendidikan, termasuk di dalamnya pemaksaan jilbab bagi siswi di sekolah negeri.
Kedua, system structure (struktur penyebab), yang di dalamnya terdapat unsur tradisi, budaya, kebijakan pemerintah, dan sistem. Pelibatan system structure pada kasus yang kompleks seperti pemaksaan jilbab (termasuk di dalamnya ciput) di sekolah negeri memungkinkan pola dan tren itu terus menguat dan berkembang.
Ketiga, mental models, yang mengandung unsur keyakinan, perspektif, dan paradigma. Jadi, apa yang dilakukan guru di SMPN 1 Sukodadi Lamongan merupakan aktualisasi dari apa yang selama ini diyakininya. Sebagai sebuah keyakinan individu bagi guru tersebut, tidaklah ada masalah. Namun menjadi malapetaka jika keyakinannya dipaksakan untuk diikuti orang lain.
Jalan Moderasi Beragama
Lalu, bagaimana mengatasinya? Setelah menyelami permasalahan hingga ke mental models beserta sumber keyakinannya, sebagaimana dijelaskan di atas, kita perlu memulihkan situasi, dari bawah atau ”dasar laut” ke permukaan air. Artinya, jika benar, mental models dari kasus tindakan seorang guru yang mencukur pitak itu akibat dari pemahamannya yang konservatif terhadap ajaran Islam, dan menyebabkan dirinya melakukan tindakan intoleran, konservatif, maka langkah pertama yang perlu diubah, meski butuh waktu, adalah menetralkannya menjadi inklusif dan moderat. Proses ini disebut rethinking yang melahirkan paradigma baru.
Setelah rethinking dari mental models, kemudian beranjak pada redesigning, yaitu menata ulang struktur dan sistem, melakukan inovasi untuk membangun mental model (paradigma) baru dalam kebijakan sekolah. Di sini, dilihat dari system structure, pihak sekolah wajib menaati Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014 bahwa sekolah negeri tempat bersemainya perbedaan, toleransi, dan saling menghormati tidak boleh melakukan penyeragaman meski atas nama agama.
Selanjutnya, dari patterns of behavior yang kurang baik, perlu dirancang reframing, yaitu membingkai ulang pola/kecenderungan yang ada dan mendorong lahirnya kecenderungan baru yang lebih ideal. Sekolah negeri yang mengikuti pola dan tren aturan wajib jilbab bagi siswinya harus segera dihentikan, apalagi sampai mengurus soal rambut dan ciput, karena jelas itu tidak mencerminkan sikap yang toleran. Pihak-pihak sekolah yang terpapar ajaran-ajaran ekstrem keagamaan perlu melakukan refleksi terhadap dampak yang ditimbulkannya, baik untuk dirinya maupun orang lain.
Sampai di sini, jika pemulihan situasi di atas telah dilakukan, yang tampak ke permukaan adalah sebuah events baru, reacting. Yang muncul bukan berita-berita intoleran, melainkan sebaliknya, perilaku toleran. Inilah jalan terjal moderasi beragama di sekolah.
Kita tahu, di antara indikator seseorang dapat dikatakan memiliki pemahaman dan sikap moderat, sebagaimana dirumuskan oleh Kemenag (2019), adalah toleransi. Sejatinya sekolah negeri merupakan arena tumbuh berkembangnya toleransi, bukan sebaliknya.
Toleransi merupakan sikap untuk memberi ruang dan tidak mengganggu hak orang lain untuk berkeyakinan, mengekspresikan keyakinannya, dan menyampaikan pendapat. Meskipun hal tersebut berbeda dengan apa yang kita yakini. Dengan demikian, toleransi mengacu pada sikap terbuka, lapang dada, sukarela, dan lembut dalam menerima perbedaan. Toleransi selalu disertai dengan sikap hormat, menerima orang yang berbeda sebagai bagian dari diri kita, dan berpikir positif.
Sebagai sebuah sikap dalam menghadapi perbedaan, toleransi menjadi fondasi terpenting dalam demokrasi. Sebab, demokrasi hanya bisa berjalan ketika seseorang mampu menahan pendapatnya dan kemudian menerima pendapat orang lain. Oleh karena itu, kematangan demokrasi sebuah bangsa, antara lain, bisa diukur dengan sejauh mana toleransi bangsa itu. Semakin tinggi toleransinya terhadap perbedaan, bangsa itu cenderung semakin demokratis, demikian juga sebaliknya. Aspek toleransi sebenarnya tidak hanya terkait dengan keyakinan agama, namun bisa terkait dengan perbedaan ras, jenis kelamin, perbedaan orientasi seksual, suku, budaya, dan sebagainya. Semoga. (*)
ALI USMAN, Dosen akidah dan filsafat Islam, peneliti Pusat Studi Pancasila dan Bela Negara (PSPBN) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Sumber, Jawa Pos Selasa, 5 September 2023
Posting Komentar untuk "Dari Ciput Menuju Jalan Moderasi Beragama"